Makalah Batik Indonesia
KUALITAS TAHAN LUNTUR WARNA BATIK CAP DI GRIYA BATIK LARISSA PEKALONGAN
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai beraneka ragam budaya. Hampir di setiap daerah mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan daerah lain. Budaya itu bisa berupa bahasa, tarian, upacara adat maupun pakaian adat. Pakaian adat biasanya dibuat dari kain tradisional sesuai dengan daerahnya. Kain tradisional yang terdapat di negara kita beraneka ragam al : songket, lurik, tenun dan batik.
Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia, saat ini telah berkembang, baik lokasi penyebaran, teknologi dan desainnya. Semula batik hanya dikenal di lingkungan kraton di Jawa. Pada masa itu batik hanya dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik tumbuh – tumbuhan maupun binatang ( Riyanto, dkk. 1997: 1 ). Batik di Jawa berkembang sampai daerah – daerah lain seperti Banyumas, Tulungagung, Wonogiri, Tasikmalaya dan Garut. Batik juga berkembang di pesisir utara seperti Jakarta, Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Tuban, Gresik, Sidoarjo, dan Madura. Teknologi yang digunakan semakin berkembang, hal ini dapat dilihat dari peralatan membatik yang sudah canggih, sebagai contoh canting yang menggunakan aliran listrik. Desain yang semakin beragam dari motif dan warna yang digunakan juga beragam untuk batik daerah pesisir.
Pertumbuhan batik yang berlainan, menjadikan corak dan warna yang beragam sesuai dengan asalnya, misalnya daerah pesisir seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem akan berbeda dengan daerah Solo atau Yogyakarta. Pada umumnya batik daerah pesisir memiliki ciri warna yang beraneka ragam seperti merah, biru, hijau dan lainnya. Sedangkan untuk daerah Solo atau Yogyakarta menggunakan warna sogan, biru, hitam, kream dan putih.
Pekalongan sebagai salah satu daerah penghasil batik di Indonesia mempunyai keunggulan dari daerah lain. Keunggulan para pembatik Pekalongan adalah dari segi proses pembuatan batik atau teknik pembuatan batik dan segi pewarnaan. Ditinjau dari segi teknik pembuatan batik, para pembatik mempunyai pengalaman yang baik, dengan penggunaan beberapa macam warna, maka harus bermain dengan lilin batik dan cara – cara pewarnaan, seperti celupan tutup lilin dan colet tutup lilin dan sebagainya (Sewan Susanto, 1973:328 ).
Dewasa ini penggunaan batik sebagai bahan sandang sudah mulai membudaya dikalangan masyarakat. Kain batik yang semula hanya dipakai untuk pakaian tradisional ( sebagai jarit, selendang ) kini banyak dipakai dalam dunia fashion, mulai dari pakaian pesta, pakaian santai, sepatu, seragam kerja atau sekolah, bahkan juga digunakan untuk perlengkapan rumah tangga ( seperti sprei, gordin, bantalan kursi, taplak dan sebagainya ).
Berkembangnya penggunaan batik tersebut dimungkinkan karena semakin meningkatnya teknik pembuatan batik serta semakin beraneka ragam disain batik yang dibuat. Hal tersebut juga mendukung pasaran batik menjadi semakin luas, bahkan sampai ke luar negeri, sehingga sistem perdagangan menjadi semakin rumit karena konsumennya semakin kritis. Sebagai bahan
sandang, konsumen menghendaki agar kualitas batik lebih ditingkatkan.
Kualitas atau mutu batik dapat dilihat dari ketahanan luntur warnanya. Penelitian ini mengambil tempat di Griya Batik Larissa Pekalongan karena disebabkan beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah batik Larissa merupakan suatu usaha batik yang sudah berdiri cukup lama dibandingkan dengan usaha batik lainnya. Faktor kedua adalah lokasi batik Larissa berada dekat dengan rumah peneliti sehingga peneliti lebih mengetahui minat konsumen terhadap batik Larissa.
Menurut pengamatan dari survey awal dapat dikemukakan bahwa di Griya Batik Larissa Pekalongan batiknya banyak diminati masyarakat, khususnya masyarakat pecinta batik. Hal ini kami peroleh dari bapak Agung bagian produksi, komentar dari beberapa konsumen yaitu, karena di Griya Batik Larissa mempunyai kualitas yang baik dari segi ketahanan luntur warnanya. Selain dari pengamatan dilakukan studi pendahuluan terhadap produk batik Larissa dengan cara manual. Hasil yang diperoleh dari pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian, gosokan dan panas penyetrikaan adalah sedikit luntur akan tetapi tidak menodai kain lain. Produksi batik Larissa selain ketahanan luntur warnanya yang bagus juga karena harganya terjangkau. Griya batik ini memproduksi batik tulis, batik cap serta batik printing. Batik tulis harganya lebih mahal sehingga hanya sedikit orang yang mampu membeli. Keadaan ini mengakibatkan griya batik Larissa memproduksi batik yang bersifat modern dengan menggunakan proses cap, yang pengerjaannya lebih cepat dan harganya lebih murah.
B. Pengertian Kain Batik
Nian S. Djoemena ( 1990 : 1 ) berpendapat “bahwa membatik sama dengan melukis diatas sehelai kain putih. Sebagai alat melukis dipakai canting dan sebagai bahan melukis dipakai cairan malam”.
Menurut Konsensus Nasional 12 maret 1996, “ Batik adalah karya seni rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang, yang menggunakan lilin batik sebagai perintang warna”. Menurut Konsensus tersebut dapat diartikan bahwa yang membedakan batik dengan tekstil pada umumnya adalah proses pembuatannya ( Riyanto, dkk.1997:4 ).
Dari pendapat diatas dapat dikemukakan bahwa batik adalah suatu karya seni pada sehelai kain dengan berbagai corak dan warna yang dibuat dengan alat yang berupa canting dengan menggunakan lilin batik atau malam sebagai perintang warnanya kemudian dicelupkan pada zat warna.
Dalam perkembangannya, batik digolongkan menjadi 3 macam yaitu :
1. Batik Tradisional
Batik tradisional adalah batik yang motifnya sudah ada sejak jaman dahulu dan susunan isen batik tradisional umumnya selalu berulang dan mempunyai sifat tetap. Batik tradisional susunan motifnya terikat oleh suatu ikatan tertentu dengan isen – isen tertentu. Pembuatan kain batik tradisional dapat dilakukan dengan dua macam cara yaitu batik tulis dan batik cap. Kain batik tradisional umumnya memiliki warna – warna khusus sebagai warisan nenek moyang yang turun temurun. Umumnya motif pada kain batik tradisional diberi nama dan mempunyai arti khusus yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat setempat, kapan digunakan dan siapa saja yang menggunakannya tanpa mengurangi segi keindahan dari kain batik tersebut.
2. Batik Modern
Batik modern ialah batik yang motifnya bebas ( corak dan isen tidak selalu tetap dan tidak ada yang diulang). Jenis isen batik modern sangat banyak sehingga sukar untuk membuat patokan – patokan seperti batik tradisional. Batik modern memiliki aturan yang lebih bebas dengan pewarnaan yang tak terbatas.
3. Batik Lukisan
Batik lukisan atau kontemporer adalah batik yang motifnya dibuat dengan lilin batik yang dilakukan secara spontan, biasanya dilakukan tanpa pola bagi pelukis – pelukis yang telah mahir dan dibuat pola kerangka atau coretan bagi pelukis yang belum mahir atau kurang berpengalaman. Variasi dan penyempurnaan batik tulis atau digabung dengan batik cap. Hasil batik lukis biasanya untuk keperluan – keperluan dekorasi sehingga pekerjaan membatik lukis tidak perlu dikerjakan pada kedua belah muka kain, melainkan hanya sebelah muka saja.
Riyanto,dkk (1997 : 8) berpendapat bahwa menurut sifat ragam hias dan komposisi pewarnaan batik, batik dibagi menjadi dua kelompok yaitu batik vorstenlanden dan pesisir.
1. Batik Vorstenlanden dari daerah Surakarta dan Yogyakarta, yang ciri – cirri ragam hiasnya bersifat simbolis dengan latar belakang kebudayaan Hindu – Jawa. Komposisi warna terdiri dari sogan, indigo ( biru ), hitam dan putih.
2. Batik pesisir adalah semua batik yang dihasilkan atau dibuat oleh daerah – daerah di luar Surakarta dan Yogyakarta, memiliki ciri ragam hias bersifat naturalistis dengan latar belakang pengaruh dari berbagai budaya, termasuk budaya asing, komposisi warna beraneka ragam.
Menurut Murtihadi dan Mukminatun ( 1979 : 55 ) bahwa proses membatik dibedakan menjadi dua yaitu batik tulis dan dan batik cap :
1. Batik tulis
Batik tulis yaitu kain batik yang proses pengerjaannya menggunakan alat canting untuk memindahkan lilin cair pada permukaan kain guna menutupi bagian tertentu yang dikehendaki agar tidak terkena zat warna.
2. Batik cap
Batik cap yaitu kain batik yang pengerjaannya dilakukan dengan cara mencapkan lilin batik cair pada kain atau mori dengan alat cap berbentuk stempel dari plat tembaga yang sekaligus memindahkan pola ragam hias.
Batik Pekalongan termasuk batik daerah pesisir yang menggunakan warna – warna yang beraneka – ragam. Batik Larissa di Pekalongan memproduksi batik tradisional, modern dan lukis. Proses pembuatannya menggunakan sistem tulis, cap dan printing. Pembuatan kain batik di griya batik Larissa pada awalnya hanya menggunakan sistem tulis. Akibat permintaan konsumen yang meningkat digunakan cap untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Penemuan batik cap berpengaruh positif pada efisiensi proses produksi.
Sebatang cap merupakan himpunan ragam hias yang terdiri atas garis dan titik serta bidang lelehan malam. Pembuatan ragam hias itu memakan waktu relative lama apabila dilakukan dengan teknik tulis. Cap berfungsi untuk memperpendek jangka waktu penyelesaian ragam hias batik.
C. Motif Kain Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan
Motif batik adalah pola atau corak pada kain batik (Depdiknas, 1994 :
666). Motif pada kain batik sangat berbeda dengan motif – motif pada kain lainnya, sebab kain batik memiliki motif – motif yang khusus seperti motif truntum, sekar jagad, kawung dan sebagainya.. Motif yang merupakan ragam hias pada kain batik ini merupakan warisan turun temurun , pada umumnya diberi nama dan mempunyai arti khusus.
Motif batik tradisional, seperti parangrusak, parangkusuma, sidomukti, lurik dan lain sebagainya, semula dibuat dengan canting. Akibat permintaan konsumen yang meningkat digunakan cap untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam perkembangan berikutnya motif batik juga mengalami kemajuan. Hal ini juga karena permintaan konsumen, baik dari segi jumlah maupun ragam motif itu sendiri. Motif – motif kreasi baru yang berkembang dan diterapkan dalam batik cap ini antara lain motif tumbuhan dan motif hewan serta motif lain yang sesuai dengan permintaan konsumen.
Beberapa motif batik Pekalongan yang klasik atau tua yaitu motif semen, motif ini hampir sama dengan motif – motif semen dari daerah Solo dan Yogyakarta yang terdapat ornamen bentuk tumbuhan dan garuda. Suatu perbedaan yang nyata ialah bahwa pada kain klasik ini hampir tidak ada.
Cecek, pengisian motif berupa garis – garis.
Gambar 1. Ragam Hias Semen ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
Nian S. Djoemena ( 1990 : 59 ) berpendapat bahwa menurut gaya dan selera, serta dilihat dari segi ragam hias dan tata warnanya, batik Pekalongan dibagi menjadi 3 golongan :
1. Batik Encim
Batik encim diproduksi oleh masyarakat keturunan Cina dan digolongkan menjadi tiga jenis ragam hias :
a. Ragam hias buketan, memiliki tata warna famille rose, famille verte dan sebagainya.
Gambar 2. Ragam hias buketan ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
b. Ragam hias simbolis kebudayaan Cina, bentuk motifnya antara lain adalah burung hong ( phoenix ), banji ( kehidupan abadi ), naga (kesiagaan), dan sebagainya.
Gambar 3. Ragam Hias Phoenix ( burung hong ) ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
Gambar 4. Ragam Hias Banji ( kehidupan abadi ) (Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
c. Ragam hias yang bercorak lukisan, contohnya adalah motif seperti arakan pengantin Cina.
Gambar 5. Ragam Hias Arak – arakan ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
2. Batik yang bergaya dan berselerakan Belanda, batik ini ragam hiasnya antara lain adalah ragam hias kartu bridge dan ragam bias kompeni.
Gambar 6. Ragam Hias Kartu Bridge ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
Gambar 7. Ragam Hias Kompeni ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
3. Batik Pribumi, batik ini bergaya pribumi dengan warna yang cerah dan meriah.
Gambar 8. Ragam Hias Terang Bulan ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
Selain ragam hias diatas, yang terkenal dan khas daerah Pekalongan adalah motif Jlamprang yang asal mula idenya dari Arab. Motif Jlamprang adalah motif geometris karena orang Arab pada umumnya tidak mau menggunakan ornamen berbentuk barang hidup dan lebih suka menggunakan ragam hias yang berbentuk geometris.sehingga muncullah motif geometris yang diberi nama Jlamprang ( Sewan Susanto, 1973 : 326 ).
Gambar 9. Ragam Hias Jlamprang ( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )
Motif – motif batik cap yang digunakan dan diterapkan di griya batik Larissa adalah motif – motif yang unsur idenya dari tumbuhan dan keadaan alam sekitar serta pengembangan dari motif tradisional yang sudah ada. Griya batik Larissa mempunyai stempel cap dengan berbagai model ragam hias mencapai lima ratus buah.
Berikut ini contoh motif – motif batik cap yang telah diproduksi :
1. Motif Kawung
Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat ( eling, bahasa Jawa ) akan asal – usulnya. Ide unsur visual yang terdapat pada motif batik kawung tersebut adalah motif kawung tradisional yang sudah dikembangkan dan diberi sentuhan isen – isen berupa titik dan garis. Akhirnya terbentuk motif kawung dengan unsur garis dan titik – titik kecil yang terarah. Penggunaan warna sogan atau coklat memberikan nuansa tradisional.
Gambar 10. Motif Kawung ( Dokumentasi Antun Atikasari 2005 )
2. Motif Sekar Jagad
Motif ini melambangkan keindahan dan kedamaian. Berasal dari kata sekar ( bahasa Jawa ) yang artinya bunga dan jagad adalah dunia.Unsur – unsur yang terdapat pada motif sekar jagad adalah gabungan atau komposisi bentuk – bentuk ornamen geometris yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk motif yang menarik. Pemilihan warna biru tua yang dominan dan sedikit warna kuning sebagai aksennya memberikan nuansa yang tradisional.
Gambar 11. Motif Sekar Jagad ( Dokumentasi Antun Atikasari 2005 )
3. Motif Flora
Motif ini adalah bentuk stilasi tumbuhan yang penyusunannya diatur sedemikian rupa sehingga tercipta motif yang menarik . Motif ini member nuansa batik pesisiran dengan adanya warna cerah yang mendominasi.
Gambar 12. Motif Flora ( Dokumentasi Antun Atikasari 2005 )
4. Motif Truntum
Motif ini merupakan motif truntum tradisional dengan hiasan pada tepi kain. Motif ini berasal dari kata tumaruntum yang berarti menuntun, atau juga sering dikaitkan dengan kata tuntum yang berarti tumbuh kembali. Kain yang didominasi warna biru ini menjadikan motif ini bernuansa batik pesisiran.
Gambar 13. Motif Truntum ( Dokumentasi Antun Atikasari )
Ciri yang menonjol pada batik Pekalongan adalah ragam hiasnya senantiasa silih berganti, dinamis dan mengikuti perkembangan pasar (Hasanudin, 2001 : 161). Masyarakat daerah Pekalongan kurang memperhatikan karya – karya seni rupa secara wajar dan lebih cenderung kepada dagang. Perubahan dan penciptaan motif hanya semata – mata dilihat dari segi perdagangan, yaitu mana yang cepat laku maka itulah yang diproduksi.
Demikian juga, tata warna batik Pekalongan menunjukkan kecenderungan dinamis, beraneka dan silih berganti (Hasanudin, 2001 : 161).
Batik Pekalongan umumnya mempunyai warna – warna cerah seperti merah, kuning, hijau, biru, violet dan orange.
Adanya faktor – faktor antara lain diatas, maka motif batik di daerah Pekalongan selalu berubah dan selalu meniru. Motif – motif baru diciptakan oleh para pembuat canting cap batik atau orang – orang yang khusus membuat motif untuk dijual pada pengusaha batik.
Batik cap mampu menembus segmen pasar sampai ke seluruh pelosok tanah air. Berbagai kecenderungan pasar dipenuhi dengan membuat aneka cap yang sesuai dengan tuntutan dan selera pembeli.
Batik cap dapat mengantisipasi dengan cepat perubahan pasar, sehingga mulai lepas dari ikatan tradisi. Batik cap berhasil memasuki pasar manca atau ekspor yang bervariasi.
Hasil produksi batik cap di griya batik Larissa Pekalongan sehari mencapai 100 potong. Produksi ini meliputi berbagai jenis kain yaitu paris, mori primisima, mori prima, katun dari ATBM, shantung dan sutera yang dibuat dalam bentuk hem, kemeja, blus, kain panjang dan selendang, sarung serta sarimbit. Penelitian ini mengambil sampel dari kain batik cap sutera, mori primisima dan shantung karena batik cap dari tiga jenis kain ini lebih banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penjualan pada batik cap sutera, mori primisima dan shantung lebih tinggi dibandingka dengan penjualan batik cap dari jenis kain katun ATBM, paris maupun mori prima.
D. Pembuatan Kain Batik Cap Pekalongan
Griya batik Larissa memproduksi kain batik dengan menggunakan berbagai jenis kain seperti sutera, mori primissima, mori prima, paris, shantung serta katun dari ATBM. Kain batik yang diproduksi biasanya mengikuti permintaan pasar. Untuk pasar menengah keatas, mereka membuat batik sutera dengan berbagai teknik batik yaitu tulis, cap serta printing.
Sedangkan untuk kalangan menengah kebawah, Larissa batik membuat kain batik dari kain mori, paris, shantung maupun katun dari ATBM. Pembuatan batik untuk kalangan ini biasanya lebih banyak menggunakan cap, karena harga produksi lebih murah sehingga harga produk batik terjangkaumasyarakat. Keunggulan kain batik cap diakui oleh kalangan konsumen dari berbagai bangsa, terutama karena nilai – nilai artistiknya dan harga jual yang relatif murah ( Hasanudin, 2001 : 179 ).
1. Bahan dalam Pembatikan
Bahan – bahan yang digunakan dalam batik meliputi kain mori, lilin atau malam dan zat pewarna. Kain putih atau mori dikenal dalam tiga jenis yaitu :
mori yang paling halus disebut primisima, mori yang halus disebut prima dan mori biru ( medium ) sebagai jenis pertengahan. Blaco juga dipakai dalam pembatikan tetapi hanya untuk batik kasaran. Selain itu juga digunakan kain sutera, paris, katun dari ATBM serta rayon. Untuk penelitian ini digunakan tiga jenis kain yaitu sutera, mori primisima dan rayon atau shantung.
a. Kain yang digunakan
1). Sutera
a) Pengertian kain sutera
Sutera menurut Soeprijono (1974:99) adalah serat yang diperoleh dari sejenis serangga yang disebut Lepidoptera. Serat sutera yang berbentuk filamen dihasilkan oleh larva ulat sutera pada waktu membentuk kepompong. Species yang paling utama yang dipelihara untuk menghasilkan sutera adalah Bombyx mori. Peternakan sutera sudah dimulai kira-kira 2640 SM. Negara-negara penghasil sutera adalah Jepang, Tiongkok, Italia, dan Perancis. Di Indonesia juga sudah ada peternakan ulat sutera yaitu di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.
b). Sifat – sifat fisika serat sutera
(1) Kekuatan tarik serat sutera
Kekuatan tarik serat sutera adalah kemampuan serat menahan tarikan.
Kekuatan tarik dalam keadaan kering antara 4 – 4,5 gram per denier dengan mulur 20 – 25%, sedangkan dalam keadan basah kekuatannya 3,5 – 4,0 gram per denier dengan mulur 25 – 30%
(2) Moisture Regain
Moisture Regain adalah presentase kandungan uap air terhadap berat kering. Moisture Regain serat sutera mentah adalah 11 % tetapi setelah dihilangkan serisinnya akan menjadi 10 %.
(3) Kekenyalan serat sutera
Kekenyalan suatu serat adalah kemampuan serat menahan renggangan. Serat sutera dapat kembali ke panjang semula setelah mulur 4% , tetapi kalau mulurnya lebih dari 4% pemulihannya lambat dan tidak kembali ke panjang semula. Sutera selain bersifat kenyal juga ringan, licin dan berkilau lembut.
(4) Daya serap air
Sutera pada udara lembab dapat menyerap air 30 % tanpa terasa basah.
(5) Ketahanan sutera terhadap panas
Sutera mempunyai daya tahan panas sampai suhu 144ºC dalam waktu yang tidak lama. Pemanasan pada suhu 140ºC dengan waktu yang cukup lama, menyebabkan perubahan warna pada sutera dan kekuatannya menurun, pada suhu 170ºC sutera mengalami kerusakan.
(6) Pengaruh air terhadap sutera
Sutera apabila dididihkan dalam air maka kilau dan kekuatan tarik kain akan berkurang. Perubahan ini akan berjalan cepat pada suhu diatas 100ºC.
(7) Pengaruh sinar matahari terhadap sutera
Penyinaran yang lama terhadap sinar matahari akan mengurangi kekuatan serat sutera, sedangkan penyinaran selama 6 jam dengan sinar ultraviolet menyebabkan kemunduran kekuatan sebesar 50 %.
(8) Sifat listrik kain sutera
Sutera merupakan isolator yang jelek. Penggosokan dalam keadaan kering menyebabkan sutera bermuatan listrik.
(9) Morfologi serat sutera
Penampang membujur dari serat sutera tidak beraturan dikarenakan pecahnya daerah serisin. Penampang melintang berupa elips atau segitiga dengan sudut – sudut yang membulat. Diameter sutera sekitar 1/1500 cm, sedang untuk sutera liar sekitar 1/1600 cm.
Membujur Melintang
Gambar 14. Bentuk Morfologi Serat Sutera ( Sumber : Soeprijono, 1974 : 106 )
c). Sifat-sifat kimia sutera
(1) Ketahanan sutera terhadap asam
Sutera menyerap asam lemak dari larutan dan apabila dikerjakan dalam larutan asam encer akan memberikan sifat khusus yaitu bunyi gemerisik ( scroop ) apabila saling bergesekan. Sutera tidak mudah diserang oleh larutan asam encer hangat, tetapi larut dan rusak didalam asam kuat.
Dibanding wol, sutera kurang tahan asam.
(2) Ketahanan sutera terhadap alkali
Larutan alkali pekat dan dingin hanya menimbulkan pengaruh sedikit, apabila pengerjaan dilakukan sebentar kemudian dicuci. Larutan natrium hidroksida mendidih meskipun encer akan melarutkan sutera, sedangkan larutan sabun dengan konsentrasi rendah biasanya digunakan untuk pencucian sutera.
(3) Ketahanan terhadap pelarut organik
Sutera tahan terhadap semua pelarut organic tetapi larut dalam kupromanium hidroksida dan kupri etilena diamina.
(4) Ketahanan sutera terhadap serangga
Secara biologi, sutera lebih tahan dibandingkan dengan serat – serat alam yang lain..
2). Kain Mori Primisima
a). Pengertian Kain Mori Primisima
Kain mori digunakan untuk pencelupan sebab kain mori mudah didapat dan harganya relatif murah, nama lain kain mori adalah “ muslin” atau “cambric” ( S. K Sewan Susanto, 1973 : 53 ).
Istilah cambric berasal dari nama kota Combral di Perancis tempat kain cambric dari benang linen dibuat pertama kalinya. Cambric berasal dari serat kapas yang diputihkan dengan tenunan rapat, anyaman polos, halus, lembut dan sedikit diberi kanji. Sedangkan masyarakat Indonesia menyebut kain mori dengan muslin atau lawn. Kain mori digolongkan menjadi 4 yaitu mori primisima, prima, biru dan blaco.
Mori primisima adalah mori yang paling halus tebal kain untuk lungsi antara 105 – 125 per inchi 42 – 50 per cm sedangkan system 36 – 46 dan untuk pakan 38 – 48 mengandung 100 – 120 per inchi 40 – 48 per cm dan kanji ringan di bawah 10 % untuk memudahkan pencelupan 4 %.
b). Morfologi serat kapas
Mori merupakan jenis tekstil yang berasal dari tumbuh – tumbuhan yang dihasilkan dari serabut biji tanaman jenis gossypium Hirsutum. Serat kapas tumbuh menutupi seluruh seluruh permukaan biji kapas dan mulai tumbuh pada saat tanaman berbunga dan merupakan pemanjangan sebuah sel tunggal dari epidermis atau selaput luar biji. Sel membesar dan kemudian membentuk silinder dalam waktu 17 – 15 hari. Lima belas hari sampai delapan belas hari berikutnya mulai masa pendewasaan serat, dimana dinding sel makin tebal dengan terbentuknya lapisan – lapisan selulosa dibagian dinding asli yang disebut dengan dinding primer, dalam dinding primer juga terkandung pectin, protein dan zat – zat yang terkandung lilin. Selulosa dan dinding primer terbentuk benang – benang yang sangat halus atau fibil. Setelah bunga kapas membuka pada saat itu serat merupakan sel yang sangat panjang dengan dinding tipis yang menutup protoplasma dan inti, kemudian tumbuh pula serat – serat yang sangat pendek dan sangat kasar yang disebut linters.
Melintang Membujur
Gambar 15. Bentuk Penampang Serat Kapas ( Sumber :Enny Zuhni Khayati, 1997 : 127 )
c). Sifat – sifat serat kapas
(1) Penyerapan baik yaitu nyaman untuk dipakai pada cuaca panas, baik untuk handuk atau sapu tangan.
(2) Penghantar panas yang baik yaitu kain yang dingin waktu kena panas.
(3) Tahan terhadap panas yang baik yaitu tidak terpengaruh panas penyetrikaan.
(4) Kurang kenyal, oleh karena itu mudah kusut.
(5) Warna serat kapas sedikit krem, jadi tidak benar – benar putih. Warna serat kapas akan semakin tua setelah penyimpanan antara dua sampai tiga tahun. Pengaruh cuaca, kotoran, debu akan menyebabkan warna kapas menjadi keabu – abuan.
(6) Kekuatan serat kapas terutama dipengaruhi oleh selulosa dalam serat dan derajat orientasinya. Kekuatan serat kapas dalam keadaan kering lebih rendah dibandingkan dengan keadaan basah. Kekuatan kapas dapat dipertinggi dengan cara merendam dalam larutan costic soda ( proses merserisasi ). Proses ini selain menambah kekuatan kapas juga dapat menambah kilau dan daya serap kain terhadap zat celup ( pewarnaan ).
(7) Sangat higroskopis, kain mudah menghisap air.
(8) Mulur dan elastisitas, mulur saat putus serat sekitar 4 – 13 % tergantung dari jenisnya. Mulur dipengaruhi oleh jenisnya, sedangkan elastisitasnya tergantung pada penarikan.
(9) Konduktor listrik yang baik, serat kapas tidak menimbulkan listrik statis.
(10) Tahan alkali.
Kain dapat dicuci dan dikelantang dalam sabun yang mengandung lindi serta tidak rusak oleh keringat ( Enny Zuhni Khayati, 1997 : 6 ).
3). Kain Shantung (serat Rayon Viskosa)
a). Pengertian kain shantung
Shantung menurut Enny Zuhni Khayati ( 1997 : 40 ) adalah jenis tekstil yang berasal dari Tiongkok yang menggunakan serat rayon viskosa.
Pembuatan rayon viskosa ditemukan oleh D. F dan Beavan dari negeri Inggris pada tahun 1891.
Rayon Viskosa dibuat dari bahan selulosa kayu cemara atau kayu beuk yang dimurnikan kemudian dengan natrium hidroksida diubah dengan selulosa alkali. Lalu dengan karbon disulfida diubah menjadi natrium selulosa xantat dan selanjutnya dilarutkan dalam larutan hidroksida encer.
Larutan ini kemudian diperam dan akhirnya dipintal dengan cara pemintalan basah menggunakan larutan asam. Bentuk serat rayon viskosa keriting, karena viskosa dipintal dalam larutan yang mengandung sedikit asam dan garam yang banyak, kemudian filamennya ditarik 40 – 50 % di dalam larutan kedua dalam 90ºC dan ditarik sedikit lagi di udara, diperas dan dipotong – potong menjadi stapel. Mula – mula serat masih lurus, tetapi setelah dicelupkan ke dalam air akan keriting dan kemudian dikeringkan. Serat ini penampang melintasnya tidak sistematis, yaitu lekukan – lekukan atau bentuk gerigi terdapat pada setengah penampang filamen. Bentuk memanjang serat rayon viskosa seperti silinder bergaris dengan penampang lintang bergerigi.
Griya batik Larissa memproduksi batik cap dari berbagai jenis kain antara lain kain shantung ( serat rayon viskosa ). Pembutan batik ini ditujukan untuk konsumen dari golongan menengah ke bawah karena harganya yang relatif lebih murah dibanding sutera.
b). Sifat fisika rayon viskosa
Sifat fisika rayon viskosa antara lain kekuatan dan mulur, moisture regain, elastisitas, berat jenis, sifat jenis, daya terhadap sinar dan daya terhadap panas.
(1) Kekuatan dan mulur
Kain shantung kekuatan dan mulurnya rendah sehingga tidak bagus untuk membuat pakaian yang ketat. Kekuatan serat rayon viskosa kira – kira 2,6 gram/Denier dalam keadaan kering dan kekuatan basah kira – kira 1,4 grm/ Denier. Mulurnya kira – kira 15 % dalam keadaan kering dan kira – kira 25 % dalam keadaan basah ( Soeprijono, 1974 : 198 ).
(2) Moistured regain
Moistured regain pada kain shantung ialah kemampuan kain shantung menyerap air. Kain shantung nyaman dipakai karena dingin dan menyerap keringat. Moistured regain serat rayon viskosa dalam kondisi standart adalah 12 – 13 %.
(3) Elastisitas
Elastisitas kain shantung ialah kemampuan kain kembali ke bentuk semula setelah mengalami tarikan atau perenggangan. Elastisitas kain shantung jelek, apabila dalam penenun benangnya mendapat suatu tarikan mendadak kemudian benangnya tetap mulur dan tidak mudah kembali, akibatnya dalam pencelupan akan mengakibatkan hasil celupan tidak rata dan kelihatan seperti garis – garis yang lebih berkilau.
(4) Berat jenis
Berat jenis suatu kain dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu :
Ringan ( 0 – 140 g/m2 )
Medium ( 141 – 160 g/ m2)
Setengah berat ( 161 – 250 g/ m2)
Berat ( lebih berat dari 250 g/m2)
Berat jenis kain shantung 1,52 termasuk dalam kain dengan jenis medium.
(5) Sifat listrik
Kain shantung tidak mudah kotor karena rayon viskosa merupakan penghantar listrik yang baik. Kulit tubuh manusia mengandung electron bila kain punya kandungan listrik yang tinggi menyebabkan adanya tarik menarik antar rambut pada kulit dengan kain. Adanya sifat kain shantung yang merupakan penghambat listrikmenyebabkan kotoran tidak mudah menempel dan tepat digunakan sebagai pakaian untuk musim panas. Bulu pada permukaan memberi daya isolasi karena merupakan penyekat yang baik.
(6) Daya tahan terhadap sinar
Kain shantung kekuatannya tidak berkurang apabila dijemur, namun jika mengalami penyinaran pada saat penjemuran yang berulang – ulang serat dari rayon viskosanya kekuatannya akan berkurang. Sutra lebih tahan terhadap sinar matahari, tetapi rayon viskosa lebih tahan terhadap sinar dibanding asetat.
(7) Daya tahan terhadap panas
Shantung tahan terhadap panas penyetrikaan tetapi pemanasan dengan penyetrikaan dalam waktu lama menyebabkan kerapuhan dan kerusakan molekul yang berbentuk serat warna rayon berubah menjadi kuning dan menurunkan kualitas kain shantung tersebut.
(8) Morfologi serat rayon viskosa
Bentuk memanjang serat rayon viskosa seperti silinder bergaris dan penampang lintangnya bergerigi.
c). Sifat Kimia Rayon Viskosa
Sifat kimia rayon viskosa ialah keadaan yang ditimbulkan dari reaksi kimia dan tidak dapat kembali kebentuk semula. Sifat kimia dari rayon viskosa ialah :
(1) Ketahanan terhadap asam
Rayon viskosa lebih cepat rusak oleh asam dibandingkan dengan kapas terutama dalam keadaan panas.
(2) Ketahanan terhadap alkali
Rayon viskosa tidak tahan terhadap larutan alkali pekat tetapi rayon viskosa tahan terhadap alkali encer, untuk itu dianjurkan untuk menggunakan sabun lunak dan air suam – suam kuku.
(3) Sifat rayon viskosa terhadap garam
Rayon viskosa tidak tahan terhadap garam oleh karena itu bila dalam pencelupan menggunakan garam maka harus dikurangi penggunaannya.
(4) Ketahanan terhadap oksidator
Zat pengoksidasi mengakibatkan kerusakan pada kain shantung dengan akibat penurunan kekuatan.
d). Sifat – sifat biologi serat rayon viskosa
Sifat biologi serat rayon viskosa ialah sifat – sifat yang ditimbulkan dari mikroorganisme. Jamur pada rayon viskosa akan mengakibatkan serat rayon viskosa berkurang kekuatannya serta berwarna.
b. Lilin batik
Lilin batik adalah bahan yang dipakai untuk menutup permukaan kain menurut gambar motif, sehingga permukaan yang tertutup tersebut menolak atau resist terhadap warna yang diberikan pada kain tersebut (S.K Sewan Susanto,1973 : 58).
Ada beberapa macam kualitas malam atau lilin batik, kualitas ini berpengaruh pada daya serap, warna pada mori, halusnya cairan dan sebagainya. Adapun dalam pemakaiannya tergantung pada kebutuhannya.
Griya batik Larissa menggunakan dua jenis malam yaitu malam yang masih baru dan malam daur ulang. Malam yang masih baru digunakan untuk pengecapan, malam daur ulang digunakan untuk isen – isen. Malam daur ulang adalah malam bekas lorodan yang dicampur dengan gondorukem.
c. Zat pewarna
Zat warna biasanya digunakan dalam proses pencelupan. Menurut Riyanto,dkk (1997 : 16) yang dimaksud proses pencelupan ialah suatu proses pemasukan zat warna ke dalam serat – serat bahan tekstil, sehingga diperoleh warna yang sifatnya dapat dikatakan kekal. Zat warna yang biasanya digunakan dalam pembatikan tanpa sesuatu perubahan dalam pemakaian adalah zat warna bejana, zat warna langsung dan zat warna pigmen.
1) Zat warna bejana
Zat warna bejana mempunyai sifat antara lain adalah tahan gosokan dan cahaya. Dari jenis zat warna ini yang dapat digunakan dalam proses pembatikkan hanya terbatas pada indigoida dan indigosol.
2) Zat warna langsung
Zat warna ini mempunyai sifat cepat larut dalam air. Zat warna langsung dibagi menjadi dua jenis yaitu zat warna reaktif dan zat warna soga. Zat warna reaktif dapat dipakai dengan air panas ataupun dingin, sedangkan zat warna soga dipakai dengan air panas saja.
3) Zat warna pigmen
Zat warna pigmen yang sering digunakan dalam pembatikan adalah zat warna napthol. Proses pewarnaannya ada dua tingkatan ; pertama, pencelupan napthol, kedua, pembangkitan warna dengan larutan dioxo atau nyareni.
Batik Larissa menggunakan zat warna batik antara lain procion, sol dan naphtol karena mudah, cepat dan praktis dalam penggunaannya. Zat warna yang paling sering digunakan adalah naphtol. Berikut ini adalah proses pewarnaan menggunakan naphtol :
1) Pencucian awal
Pencelupan awal dilakukan dengan mencelupkan kain ke dalam air detergen. Hal ini bertujuan untuk membasahi kain secara merata dan menghilangkan kotoran – kotoran kecil yang mengganggu warna kain. Setelah selesai dicelup, kemudian kain ditiriskan.
2) Pencelupan ke dalam larutan naphtol
Naphtol dilarutkan dengan menggunakan air panas dalam wadah berupa ember. Tujuan penggunaan air panas adalah supaya zat warna cepat larut. Setelah naphtol larut seluruhnya dan larutan tersebut berangsur dingin, larutan naphtol dipindahkan ke dalam glendongan. Glendongan adalah tempat pewarnaan kain yang sudah dicap. Langkah selanjutnya adalah mencelupkan kain ke dalam larutan tersebut. Setelah pencelupan ke dalam larutan naphtol, kain ditiriskan lagi untuk proses pencelupan ke dalam larutan garam.
3) Pencelupan ke dalam larutan garam
Larutan garam adalah zat untuk membangkitkan warna, sehingga setelah kain dicelupkan akan terlihat warna yang diinginkan. Untuk membuat larutan garam ini digunakan air dingin. Kemudian larutan garam dipindahkan ke dalam glendongan dan kain – kainnya dicelupkan ke dalamnya.
4) Pencucian akhir
Pencucian akhir dilakukan dengan tujuan agar warna yang tidak menempel pada kain bisa bersih, sehingga hasilnya akan lebih baik. Pencucian akhir biasanya dilakukan lebih dari sekali atau sesuai kebutuhan. Proses pencucian akhir ini sama dengan proses pencucian awal.
2. Peralatan batik cap
Peralatan batik cap yang paling pokok adalah alat cap. Alat cap disebut pula sebagai canting cap, berbentuk stempel yang dibuat dari plat tembaga.
Canting cap terdiri terdiri dari tiga bagian yaitu :
a. Bagian muka, berupa susunan plat tembaga yang membentuk pola batik.
b. Bagian dasar, tempat melekatnya bagian muka.
c. Tangkai cap, untuk memegang bila dipakai untuk mengecap.
Alat untuk menempatkan malam atau lilin batik disebut dulang, bahan yang digunakan adalah tembaga. Dasar dulang diberi beberapa lapis kasa dari anyaman tembaga untuk proses pemanasan lilin. Pembuatan perapiannya sama dengan batik tulis yaitu menggunakan anglo atau kompor, hanya saja bentuknya agak besar menyesuaikan dulang yang dipakai untuk memanaskan malam atau lilin batik tersebut. Pencapan pada kain batik dilakukan di atas bantalan meja cap.
3. Proses Pembuatan Batik Cap
Proses pembuatan batik pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu pekerjaan persiapan dan pekerjaan pokok dalam pembatikan.
a. Pekerjaan persiapan membuat batik, yaitu bermacam – macam pekerjaan yang dilakukan terhadap moti batik sehingga menjadi kain yang siap untuk dibuat batik. Pekerjaan persiapan ini meliputi :
1) Memotong mori batik, yaitu memotong kain mori berbentuk piece atau gulungan yang dipotong – potong menurut panjang kain yang akan dibuat.
2) Mencuci (nggirah) atau ngetel, yaitu menghilangkan kanji untuk diganti dengan kanji ringan supaya kain mempunyai daya serap yang lebih tinggi, supel dan lemas.
3) Menganji, yaitu menganji kain yang sudah dicuci dengan kanji ringan atau tipis agar lilin atau malam tidak meresap dalam kain dan nanti lilin mudah dihilangkan atau dilorod. Pemakaian kanji tersebut sekitar 20 gram tapioka untuk I liter air.
4) Pengemplongan, yaitu meratakan kain yang nantinya siap untuk disimpan atau langsung dibatik.
b. Pekerjaan Pokok dalam Pembatikan
Pekerjaan – pekerjaan pokok dalam pembuatan batik yaitu bermacam – macam pekerjaan yang dilakukan dalam proses pembuatan batik yang sebenarnya. Pekerjaan – pekerjaan ini meliputi :
1) Menulis atau mencap mori dengan lilin batik
Kain yang akan dibatik tulis diberi pola atau diberi motif lebih dahulu, kemudian baru dikerjakan pembatikkan tulis. Untuk kain atau mori yang akan dibatik cap dapat langsung dikerjakan tanpa dipola. Macam – macam pengerjaan menulis atau mencap lilin ialah :
a) Membatik atau mencap klowong
Pekerjaan ini adalah pelekatan lilin batik yang pertama. Lilin batik ini akan menjadi kerangka dari motif batik tersebut. Klowongan ini ada dua tingkat, pertama disebut ngengrengan yaitu klowongan pertama dan klowongan pada muka sebelahnya sebagai terusan klowongan pertama disebut nerusi.
b) Nembok
Menembok adalah menutup kain setelah diklowong, dengan lilin yang lebih kuat atau lebih tebal dan pada tempat – tempat tertutup ini warnanya tetap putih. Nembok ini meliputi menutup permukaan kain dengan lilin batik serta memberikan isen dan cecek pada kain yang telah diklowong.
c) Membironi, merining atau menutup
Pekerjaan membironi, merining atau menutup bertujuan supaya tempat – tempat yang berwarna tidak tertutup warna lain sehingga pada warna putih tetap putih. Pekerjaan membironi dan merining dilakukan pada kain setelah diwedel dan dikerok atau dilorod, sebelum kain tersebut disoga atau dicelup warna akhir. Pekerjaan ini dilakukan pada tengah – tengah proses pembuatan kain batik
d) Cap jeblok
Cap jeblok adalah apabila pada pencapan batik tidak dibedakan atas lilin klowong dan lilin tembok, tetapi disatukan yaitu mengerjakan capnya sekaligus. Jadi maksud cap jeblok ini menutup permukaan kain yang nantinya akan berwarna soga atau putih. Pencapan ini digunakan untuk membuat batik dengan proses lorodan.
2) Memberi warna pada kain
Mori batik yang telah dicap atau ditulis dengan lilin sesuai dengan motif, siap untuk diwarna. Macam – macam cara pewarnaan kain batik antara lain :
a) Medel
Medel adalah memberi warna biru tua pada kain setelah kain dicap klowong dan dicap tembok atau selesai ditulisi. Bahan untuk medel yaitu zat warna indigo sintetis dan zat warna napthol. Wedelan adalah sebagai warna dasar yang berwarna biru tua.
b) Celupan warna dasar
Pemberian warna ini dengan celupan dan tidak perlu diwedel. Warna – warna dasar yang biasa dipakai ialah warna hijau, violet, merah, kuning, oranye dan lain – lain. Agar warna dasar ini tidak tertindih dengan warna berikutnya maka harus ditutup lilin sesuai motif. Zat warna yang dipakai adalah yang mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh panas lilin batik seperti zat warna indigosol, napthol atau indanthreen.
c) Menggadung
Menggadung ialah menyiram kain batik dengan larutan zat warna. Pewarnaan ini biasa digunakan oleh pengrajin batik Pekalongan yaitu untuk pewarnaan kain batik sarung atau buketan.
d) Coletan atau dulitan
Pewarnaan cara coletan atau dulitan adalah memberi warna setempat pada kain batik dengan larutan zat warna yang dikuaskan atau dilukiskan pada daerah yang diwarnai atau dibatasi oleh garis – garis lilin sehingga warna tidak merembes ke daerah lain. Zat warna yang digunakan adalah zat warna rapid atau indigosol.
e) Menyoga
Menyoga adalah memberi warna coklat pada kain. Pada proses pembuatan kain sogan Yogyakarta dan Solo, menyoga adalah sebagai pewarnaan terakhir.
3) Menghilangkan lilin batik
Menghilangkan lilin batik dapat dikerjakan dengan penghilangan sebagian atau keseluruhan. Menghilangkan lilin sebagian atau setempat (mengerok) adalah melepaskan lilin pada tempat tertentu dengan cara menggaruk lilin dengan alat semacam pisau. Mengerok dimaksudkan untuk membuka lilin klowong sehingga bekas lilin tersebut nantinya akan diberi warna soga atau coklat.
Menghilangkan lilin dengan cara lorodan adalah menghilangkan lilin batik dengan cara melorod atau menghilangkan lilin secara keseluruhan. Menghilangkan lilin secara keseluruhan pada akhir proses pembatikkan disebut mbabar, ngebyok atau nglorod. Proses ini dikerjakan dengan air panas sehingga lilin meleleh dan lepas dari kain. Proses memecah lilin atau ngremuk adalah salah satu cara menghilangkan lilin dengan cara memecah lilin batik menjadi pecahan – pecahan sehingga zat warna dapat masuk ke dalam kain dan membentuk motif – motif pecahan lilin. Batik semacam ini disebut batik Wonogiren.
D. Kualitas Tahan Luntur Warna
Kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu atau mutu (Depdiknas,1996:533). Luntur dapat diartikan sebagai hilang atau berkurangnya zat warna dari kain berwarna yang disebabkan oleh peristiwa – peristiwa atau proses kimia maupun fisika. Lunturnya zat warna mengakibatkan warna kain berubah atau memudar. Kain yang luntur menunjukkan rendahnya mutu kain secara keseluruhan, khususnya rendahnya mutu pewarnaan. Menurut Nanie Asri dalam Duwi Susanti (2005:19), ketahanan luntur warna adalah perubahan warna karena suatu sebab sehingga gradasi warnanya berubah atau luntur. Ketahanan luntur warna mengarah pada kemampuan dari warna untuk tetap stabil dan tidak berubah. Proses lunturnya kain disebabkan oleh berbagai hal antara lain adalah penggunaan zat warna yang tidak sesuai dengan jenis serat pada proses pewarnaan bahan tekstil, kurang sempurnanya proses pewarnaan, kurang pada zat warna, putusnya ikatan kimia antara serat dengan kromofora dan auksokroma sehingga daya afinitasnya hilang dan lepasnya zat warna sisa yang tidak berikatan dengan serat atau hanya melekat pada permukaan serat saja.
Dalam pemakaian bahan tekstil sehari – hari, tahan luntur warna mempunyai arti yang penting. Ketahanan luntur warna ditinjau dari segi kepentingan konsumen meliputi bermacam – macam tahan luntur warna, diantaranya tahan luntur warna terhadap sinar matahari, pencucian, gosokan, panas penyetrikaan dan keringat.
Tidak semua pencapan dan pencelupan mempunyai ketahanan luntur yang baik, lainnya sedang dan sebagian buruk. Sifat dari tahan luntur warna tidak berkorelasi dengan sifat tahan luntur lainnya. Warna yang mungkin memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian baik, mungkin memiliki ketahanan luntur yang kurang baik terhadap sinar matahari. Daya tarik menarik zat warna biasanya ditentukan oleh sifat menyerap serat. Ketahanan luntur pada pewarnaan, langsung dapat diperbaiki dengan penyempurnaan akhir yang kadang – kadang diberikan pada kapas yang dimerserisasi sehingga menyerap dan menahan zat warna lebih baik dari pada kapas yang tidak mendapat penyempurnaan.
Griya batik Larissa menggunakan zat warna sintetis (naphtol) yang dimungkinkan mempunyai ketahanan luntur yang tinggi. Zat warna naphtol lebih sering dipakai karena lebih mudah dan praktis penggunaannya.
Penilaian kualitas ttahan luntur warna dilakukan dengan mengamati adanya perubahan warna dari uji dan penilaian penodaan warna terhadap kain putih. Penilaian secara visual dengan cara membandingkan perubahan warna yang terjadi dengan standar perubahan warna. Standar yang digunakan adalah standar yang dikeluarkan oleh International Standart Organization ( ISO ) yaitu Standar Gray Scale untuk perubahan warna dan Staining Scale untuk perubahan karena penodaan dengan kain putih ( Wibowo, 1975 : 154 ).
1. Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian
Cara uji ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna terhadap pencucian yang berulang – ulang. Berkurangnya warna dan pengaruh gosokan yang dihasilkan oleh larutan dan gosokan lima kali pencucian dengan mesin, hampir sama dengan satu kali pencucian dengan mesin selam 45 menit.
2. Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan
Cara pengujian ini adalah untuk menguji penodaan dari bahan berwarna pada kain lain, yang disebabkan karena gosokan dan dipakai untuk bahan tekstil berwarna dari segala macam serat baik dalam bentuk benang maupun kain.
3. Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat
Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna dari segala macam bahan tekstil berwarna terhadap keringat. Contoh – contoh uji yang terpisah dari bahan tekstil berwarna direndam dalam larutan keringat buatan bersifat asam, kemudian diberikan tekanan mekanik tertentu dan dikeringkan perlahan – lahan pada suhu yang naik sedikit demi sedikit.
4. Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Panas Penyetrikaan
Cara uji ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna dari segala macam bahan dan bentuk bahan tekstil terhadap penyetrikaan. Pengujian ini dilakukan terhadap bahan tekstil dalam keadaan basah, lembab dan kering.
Contoh uji disetrika dalam keadaan panas kering, panas lembab atau panas basah dalam kondisi tertentu dan dievaluasi perubahan dan penodaan warnanya.
E. KERANGKA BERFIKIR
Batik merupakan salah satu produk tradisional yang digemari masyarakat. Selain motif yang bervariasi kain yang digunakan juga bervariasi. Salah satu batik yang diminati masyarakat adalah batik Pekalongan yang terkenal dengan warna yang cerah dan beragam.
Griya batik Larissa merupakan salah satu industri yang memproduksi baik batik tulis, batik cap, maupun batik printing dengan berbagai jenis motif dan kain. Kain yang paling sering digunakan untuk membatik adalah kain mori, sutera, shantung, dan paris. Griya batik Larissa memiliki konsumen yang banyak, konsumen merasa puas dengan produk griya batik Larissa. Hal ini dimungkinkan karena kualitas kain batik yang baik antara lain ketahan luntur warnanya. Konsumen bahan batik menghendaki bahan yang sifat tahan lunturnya minimal, oleh karena itu apabila industri pembuat kain batik dapat menekan kelunturan kain sebelum dibuat pakaian, mereka dapat mencegah pengaduan konsumen yang disebabkan oleh tahan luntur warna yang rendah.
Kualitas kain batik dapat dilihat dari ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan.. Pengujian tahan luntur warna tersebut dapat dilakukan pada jenis kain yang berbeda seperti pada kain mori, sutera, dan shantung. Penggunaan kain mori, sutera serta shantung ini dimaksudkan untuk melihat dan membandingkan tingkat kelunturan warna kain batik yang diproduksi di griya batik Larissa.
Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah kualitas ketahanan luntur warna batik cap di griya batik Larissa Pekalongan. Oleh karena itu, dilakukan uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan yang akan dilakukan di laboratorium dengan menggunakan jenis kain yang berbeda yaitu sutera, mori dan shantung. Hasil akhir dari pengujian tersebut akan didapatkan data yang menunjukkan nilai kualitas ketahanan luntur warna batik cap dengan variasi kain sutera, mori dan shantung.
1. Hasil Analisis Deskriptif
a. Tinjauan Umum Griya Batik Larissa Pekalongan
Penelitian ini dilakukan di Griya Batik Larissa Pekalongan yang beralamat di Pesindon II no 8, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. Griya Batik Larissa Pekalongan adalah salah satu pelaku usaha batik yang masih berjalan dan berproduksi di Pekalongan. Pemilik usaha batik ini adalah Drs. H. Eddywan.
Usaha batik ini berdiri sejak tahun 1990 dengan diberi nama ‘ Larissa “ yang berasal dari nama anak keduanya. Batik Larissa mempunyai tenaga kerja sebanyak 70 orang dengan tugas yang berbeda. Kepala produksi 1 orang, tenaga cap 10 orang, 14 orang tenaga jahit, 5 orang tenaga memotong, 8 orang tenaga pembatik isen – isen, 10 orang tenaga pewarnaan, 10 orang tenaga batik tulis, 6 orang tenaga pengepakan, 6 orang tenaga toko. Hasil kain batik Larissa biasanya berupa pakaian baik pakaian wanita maupun pakaian pria. Batik Larissa selain membuka showroom di rumah, juga mempunyai showroom di jalan Hayam Wuruk 122 Pekalongan.
b. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian
Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap pencucian dapat dilihat dari hasil perubahan warna, penodaan terhadap kapas dan penodaan terhadap sutera.
1) Perubahan Warna Karena Pencucian
Terlihat pada tabel, ternyata hasil perubahan warna dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai perubahan warnanya 4 untuk jenis kain shantung dan sutera serta nilai 4-5 untuk mori primisima. Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori primisima mempunyai perubahan warna yang lebih kecil. Pada kain mori primisima dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 0,8 CD, sedangkan untuk kain shantung dan sutera dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD.
2) Penodaan Warna terhadap Kapas karena Pencucian
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai tahan luntur warnanya 4 untuk jenis kain shantung dan mori primisima, serta nilai 4-5 untuk sutera.
Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain sutera mempunyai penodaan warna terhadap kapas yang lebih kecil. Pada kain sutera dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 2,0 CD, sedangkan untuk kain shantung dan mori primisima dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 4,0 CD.
3) Penodaan Warna terhadap Sutera Karena Pencucian
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari ketiga jenis kain dalam kategori baik dengan nilai penodaan warna terhadap sutera sebesar 4 dengan perbedaan warna terhadap staining scale sebesar 4 CD.
c. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Gosokan
Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap gosokan dapat dilihat dari hasil penodaan warna terhadap kapas kering dan penodaan warna terhadap kapas basah.
1) Penodaan Warna terhadap Kapas Kering Karena Gosokan
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas kering dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai perbedaan warnanya 4 untuk jenis kain shantung dan sutera serta nilai 4-5 untuk mori primisima. Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori primisima mempunyai penodaan warna yang lebih kecil. Pada kain mori primisima dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 0,8 CD, sedangkan untuk kain shantung dan sutera dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD.
2) Penodaan Warna terhadap Kapas basah karena Gosokan
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna dari ketiga jenis kain dalam kategori cukup baik untuk jenis kain shantung dan mori primisima dengan nilai perubahan warnanya 3-4, sedangkan untuk jenis kain sutera dalam kategori baik dengan nilai perubahan warna sebesar 4. Pada kain jenis shantung dan mori primisima nilai perubahan warnanya 3-4, yang berarti perbedaan terhadap gray scale 2,1 CD yang berbeda dengan jenis kain sutera yang perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD.
d. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Keringat Asam
Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap keringat asam dapat dilihat dari hasil perubahan warna, penodaan terhadap kapas dan penodaan terhadap rayon.
1) Perubahan Warna Karena Keringat Asam
Terlihat pada tabel, ternyata hasil perubahan warna dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai perubahan warnanya 4 untuk jenis kain shantung dan sutera serta nilai 4-5 untuk mori primisima. Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori primisima mempunyai perubahan warna yang lebih kecil. Pada kain mori primisima dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 0,8 CD, sedangkan untuk kain shantung dan sutera dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD.
2) Penodaan Warna terhadap Kapas Karena Keringat Asam
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai tahan luntur warnanya 4-5 untuk jenis kain shantung dan sutera, serta nilai 4 untuk mori primisima.
Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain shantung dan sutera mempunyai penodaan warna terhadap kapas yang lebih kecil. Pada kain shantung dan sutera dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 2,0 CD, sedangkan untuk mori primisima dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 4,0 CD.
3) Penodaan Warna terhadap Sutera Karena Keringat Asam
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari ketiga jenis kain dalam kategori baik dengan nilai penodaan warna terhadap sutera sebesar 4 dengan perbedaan warna terhadap staining scale sebesar 4 CD.
e. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Panas Penyetrikaan
Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap panas penyetrikaan dapat dilihat dari hasil perubahan warna dan penodaan warna terhadap kapas kering.
1) Perubahan Warna Karena panas penyetrikaan
Terlihat pada tabel, ternyata hasil perubahan warna dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai perubahan warnanya 4. Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa ketiga jenis kain tersebut mempunyai perbedaan gray scale sebesar 1,5 CD.
2) Penodaan Warna Karena terhadap Kapas Kering karena Panas Penyetrikaan
Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas kering karena panas penyetrikaan dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai penodaan warnanya 4-5. Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa ketiga jenis kain tersebut mempunyai perbedaan staining scale sebesar 2,0 CD.
B. Pembahasan
1. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap
Pencucian
Hasil uji kualitas batik cap dilihat dari tahan luntur warna terhadap pencucian menunjukkan bahwa batik cap dari bahan shantung, mori primisima dan sutera dalam kategori baik. Nilai perubahan warna ketiganya dalam kategori baik, artinya ketiga jenis kain tersebut mempunyai ketahanan luntur yang baik yang mempunyai nilai 4 pada shantung dan sutera, sedangkan mori primisima mempunyai nilai 4 - 5. Dari ketiga jenis kain tersebut ternyata batik cap dari bahan mori primisima mempunyai nilai ketahanan luntur yang lebih baik daripada batik cap dari bahan shantung dan sutera. Kain kapas sangat higroskopis, selain itu kain kapas yang telah dimerserisasi mempunyai daya serap yang lebih tinggi terhadap zat celup ( pewarnaan ).
Hal ini sesuai teori dari Enny Zuhni Khayati ( 1997 : 6 ) bahwa serat kapas sangat higroskopis dan lebih tahan alkali dibanding sutera dan shantung. Kain dapat dicuci dan dikelantang dalam sabun yang mengandung lindi. Dilihat dari penodaan warna terhadap kapas, batik cap dari bahan sutera mempunyai nilai yang lebih baik dibandingkan mori primisima dan shantung yaitu 4 – 5. Nilai penodaan warna batik cap dari bahan mori primisima dan shantung adalah 4. Nilai penodaan warna terhadap sutera pada ketiga jenis kain ini terhadap sutera adalah 4.
2. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Gosokan
Kualitas tahan luntur warna batik cap terhadap gosokan, batik cap yang terbuat dari kain sutera lebih baik. Hal ini dilihat dari nilai penodaan warna pada kapas basah yaitu 4-5 dan penodaan pada kapas kering yaitu 4. Penodaan warna pada kapas kering, batik cap dari bahan shantung dan mori primisima mendapat nilai 4 sedangkan pada penodaan terhadap kapas basah mendapat nilai 3-4. Kain batik cap dari jenis sutera mempunyai permukaan yang licin dan daya serap air yang tinggi sehingga penodaan warna lebih baik. Sutera selain bersifat kenyal juga berifat ringan, licin dan berkilau lembut (Soeprijono, 1974 : 106).
3. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Keringat
Asam
Kualitas batik cap dari ketiga jenis kain ditinjau dari tahan luntur warna terhadap keringat asam dalam kategori baik. Nilai perubahan warna untuk batik cap dari bahan mori primisima ternyata lebih baik daripada jenis hantung dan sutera yaitu 4-5. Mori primisima lebih tahan alkali, sehingga tidak mudah rusak oleh keringat, berbeda dengan sutera dan shantung yang tidak tahan alkali. Serat kapas lebih tahan alkali dan tidak mudah rusak oleh keringat (Eni Zuhni Khayati, 1997: 6). Sehingga kualitas batik cap terhadap keringat, perubahan warna kain mori primisima lebih baik. Nilai perubahan warna batik cap dari bahan shantung dan sutera adalah 4.
Nilai penodaan warna terhadap kapas, batik cap dari bahan sutera adalah 4-5 sedangkan batik cap dari bahan mori primisima mempunyai nilai 4. Penodaan warna terhadap kapas karena keringat asam, kain sutera lebih baik. Hal ini disebabkan permukaan sutera yang lebih licin dibandingkan mori primisima dan shantung.
Untuk nilai penodaan warna terhadap sutera, batik cap dari bahan shantung lebih baik yaitu mempunyai nilai 4-5 dan batik cap dari bahan mori primisima dan sutera mendapat nilai 4.
4. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Panas
Penyetrikaan
Perubahan warna dan penodaan warna terhadap kapas kering pada panas penyetrikaan dari ketiga jenis kain termasuk dalam kategori baik. Pada perubahan warna mempunyai nilai 4 dan penodaan warna terhadap kapas kering 4 – 5. Hal ini disebabkan batik cap dari bahan mori primisima dan shantung tahan terhadap temperatur tinggi sehingga tahan pada panas penyetrikaan 204 º C - 218º C seperti pada pengujian tahan luntur warna terhadap panas penyetrikaan. Serat kapas menurut Enny Zuhni Khayati ( 1997 : 6 ) tahan terhadap temperatur tinggi, kain tahan panas setrika dan dapat direbus. Sutera kurang tahan terhadap panas penyetrikaan, tetapi masih tahan pada penyetrikaan suam – suam kuku. Menurut Soeprijono.
Sutera mempunyai daya tahan panas sampai suhu 144ºC dalam waktu yang tidak lama. Pemanasan pada suhu 140ºC dengan waktu yang cukup lama dapat menyebabkan perubahan warna dan kekuatannya menurun.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, secara umum ketiga jenis kain yakni: shantung, mori primisima dan sutera mempunyai nilai ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat asam, panas penyetrikaan dan gosokan yang baik.
Sejarah Batik Indonesia
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.
Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.
Perkembangan Batik di Indonesia
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
| Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur. |
Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.
Batik Pekalongan
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.
Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah - daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.
Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.
Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.
| Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik.
Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang. |
Perkembangan budaya teknik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh negara-negara itu. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa.
Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.
Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai KOTA BATIK. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.
Batik yang merupakan karya seni budaya yang dikagumi dunia, diantara ragam tradisional yang dihasilkan dengan teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik Pekalongan.
Contoh batik